Agustus 27, 2020

Bolehkah Aku Memiliki Kamu?

Cinta...
Yang tidak aku mengerti
Yang aku lihat
Bisa hadirkan tawa juga tangis
Membuat suka namun juga membuat duka
Yang lalu tidak ingin aku rasa

Kini...
Tidak dapat aku pungkiri
Tidak dapat pula aku hindari
Rasa itu hadir
Membuat aku pergi menjemput asa
Nyata yang mengusik kalbu

Bahagia
Tersenyum
Nyaman
Rasa yang dulu tidak aku rasa

Namun aku malah bimbang
Karena cinta ini terlarang
Dia telah miliki seseorang
Pantaskah aku menghilang?

***

Aku masih terdiam, tidak dapat memungkiri juga tidak dapat mengambil langkah.

Rasa ini mungkin telah berubah menjadi rasa yang mendalam. Rasa ini bukan lagi rasa yang menyenangkan. Rasa ini menjadi rasa egois yang sangat sangat ingin memiliki dia.

Sayangnya otakku masih bekerja dengan keras. Hufffftt.... Seandainya kita bertemu di lain kali ketika kita masih berjalan sendiri-sendiri. Mungkin dengan mudah aku memberi jawab.

Bagaimana ini bisa adil? Sedang katanya ia akan memutuskan sesuatu yang pernah menemaninya. Meski ia bilang, ia sebenarnya sudah inginkan putus sejak lama sebelum kedatanganku.

Sebenarnya mengapa rasa ini bisa salah? Dan apakah rasa suka bisa disalahkan?

Dalam hatiku terbesit keinginan untuk juga nyatakan rasa seperti yang engkau harapkan. Lalu bisakah aku begitu tanpa rasa malu dan bersalah?

Apakah kau tau? Ini pertama kalinya untukku. Pertama kali aku menyukai seseorang sampai aku rindu.

Tidak bisakah kita bertemu lagi? Tanpa harus saling menyatakan rasa. Sungguh sampai kini, aku mungkin menyadari. Namun bisakah kita untuk saling memiliki?

Aku Ibu yang Tidak Becus

Ia anakku, biar aku yang mengatur. Komentar, kritik, saran, oke aku welcome selama aku pikir itu baik untuk anakku. Tapi please jangan atur aku tentang cara bagaimana aku mengatur anakku. Setiap ibu pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Begitupun aku. Aku memang bukan ibu yg baik, tapi aku tentu ingin yang terbaik untuk anakku.

Aku keras, aku tegas, memang. Tapi tentu ada maksud dari sikapku ini. Kalau anakku salah, aku tidak akan membela, kalau anakku benar, aku yang pertama kali akan membela. Rasa cintaku, tentu paling besar dibandingkan siapapun di dunia ini. Kalau aku mau, aku bisa membelanya setiap saat. Tapi bukankah dari situ tidak akan ada pelajaran yang bisa dipetik oleh anakku yang belum mengerti apa-apa. Aku tidak ingin menjadikan rasa cinta sebagai alasan untuk membenarkan setiap perbuatan anak.

Aku tidak suka menuruti semua keinginan anak. Jika itu baik maka aku beri, jika itu tidak baik atau tidak terlalu dibutuhkan maka tidak aku beri. Mungkin ini terlihat buruk, ketika anakku berteriak menangis menginginkan sesuatu itu. Tapi beginilah caraku. Biar anakku belajar bahwa di dunia ini bukan surga, tidak semua yang ia inginkan bisa ia capai. Biar saat kelak ia dewasa ia bisa menata hatinya saat ia merasa kecewa.

Biar aku yang mengatur, bukan anakku yang mengatur aku. Aku yang lebih tau, jelas karena aku yang lebih lama hidup di dunia dibandingkan anakku. Anakku yang masih berumur 2 tahun 8 bulan. Tentu belum bisa memilih antara yang baik dengan yang buruk. Maka dari itu, itu adalah tugasku.

Ada kalanya ia menangis, ada kalanya ia tertawa, ada kalanya ia bermain, ada kalanya ia belajar, bukankah itu kehidupan. Ketika anak menangis aku hanya memeluk lalu mengusapnya terkadang aku pun ikut menangis bersamanya. Kecewa lalu menangis, bukankah itu normal? bahkan orang dewasa sekalipun sering menangis bukan? Biarkan ia luapkan tangisannya, biarkan ia belajar menata hatinya. Ketika ia sudah merasa puas meluapkan kekecewaannya, tentu ia akan berhenti. Dipikiranku anak tentu memiliki emosi sepertiku yang perlu meluapkan kekecewaannya, perbedaannya hanya pada letak bagaimana cara meluapkannya. Namun, begitulah manusia. Ia hanya bisa melihat aku yang tidak bisa mendiamkan anakku. Aku yang tidak becus mengurus anakku.

Saat anakku sakit atau terjatuh, siapa yang paling menyesal? Tentu aku. Aku juga yang paling berharap anakku bisa cepat pulih. Dalam hati kecil aku berharap sakitnya bisa pindah padaku, meski itu bukan do'aku. Karena bukan anakku yg mengurus aku, melainkan aku yang mengurus anakku. Anakku yang super aktif, anakku yang diam ketika sedang tidur saja, anakku yang tenaganya mungkin seperti sahabat "Umar bin Khattab." Tapi lagi-lagi orang lain melihat, bahwa aku tidak becus menjadi ibu.

Sudah berapa kali aku menjadi ibu yang tidak becus. Aku mungkin tidak berpengalaman dan ia adalah anak pertamaku. Aku mungkin bukan ibu yang hebat seperti ibu-ibu di jaman dahulu. Tapi aku juga berusaha untuk belajar, mencari informasi dari sana sini, membaca buku parenting, mencoba menjadi ibu seperti contoh terbaik Ibunda Khadijah RA., meski ternyata seperti beliau adalah keinginan yang tidak terealisasi.

Akulah yang paling berharap kelak ia menjadi yang terbaik. Menjadi umat yang terbaik. Menjadi pedang yang berdiri kokoh menembus jantung ROMA. Dan beginilah cara ibu yang tidak becus menjadikan ia kelak menjadi pribadi yang mandiri. Pribadi yang harus paham mana jalan yang harus ia pilih.

 

Non Tiwi Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review