November 06, 2013

Who is he?

“Brukk.....” buku yang bertumpuk di tanganku serentak berjatuhan di lantai koridor sekolah pagi itu.

“Heh... ini tu udah jam 8 pagi. Apa kurang jelas kalo gue bukan hantu?” Amarahku meledak saat seorang cowok membuat setumpuk buku paket matematika milik perpustakaan sekolah ku itu berserakan di lantai.

“Sorry..sorry..”

Tanpa menjawab ungkapannya, aku segera menuju buku-buku itu. Dengan raut muka yang ku tekuk dan bibir yang sedikit maju, aku memunguti satu persatu buku dan mengusapnya dari debu. Meski lantai ini telah di pel oleh Pak Udin penjaga sekolah ku, tetap saja buku ini tidak terlindungi dari debu yang anehnya selalu hadir setiap waktu. Semoga saja Ibu Meta kepala pengurus perpustakaan tidak marah, fikirku membayangkan Ibu Meta yang berpesan untuk menjaga buku ini.

“Sorry...” ucapnya lagi seraya ikut terjongkok dan membantuku memunguti buku-buku itu.

Masih dengan raut muka yang ku tekuk, aku memunguti buku-buku itu bersamanya. Diam... ya inilah yang ku lakukan jika kekesalan melanda batinku. Namun rasa penasaran mengantarkanku pada raut muka yang telah membuat pekerjaan ku bertambah pagi ini. Raut muka yang sepertinya merasa bersalah. Raut muka yang entah milik siapa, tak pernah aku melihatnya berkeliaran di sekolah ku ini. Raut muka yang..... apa sih yang ku pikirkan? Tersadar , segera aku melanjutkan pekerjaanku menumpuk buku-buku itu.

“Aku bantuin bawa yah?” Suara lembut itu membuatku berhenti melakukan aktifitas. Suaranya......

“Gak usah.” Aku pun menatapnya ragu seraya mengarahkan tanganku untuk mengambil buku di tangannya.

***

Di kelas...  Akhirnya tugas ini selesai, buku-buku atas permintaan Bapak Aryo telah aku bagikan pada teman sekelas. Karena petugas perpustakaan yang kurang teliti soal jumlah buku paket yang diminta oleh Bapak Aryo, akhirnya aku yang turun tangan. Menjadi orang kepercayaan guru itu terkadang melelahkan tapi terkadang juga membuatku tidak canggung untuk bertanya.

Bapak Aryo memulai pelajaran ini dengan menjelaskan soal Function alias Fungsi. Belum lama setelah itu, terdengar ketukan dari balik pintu yang agak tertutup. Dan semua mata dikelasku tertuju ke balik pintu yang ternyata muncul Bapak Kepala Sekolah dan seorang siswa laki-laki yang tadi pagi ku temui di koridor sekolah.

Namanya Reza. Cowok dengan tinggi dan berat badan ideal anak kelas 3 SMA. Dan giginya yang tidak rata, tapi membuat senyumnya mempesona. Mungkin menghipnotis naluri seorang cewek di kelas ku. Atau mungkin lebih dari hanya seorang.

Mata itu...?

Ada yang mengganjal di hati ini, apakah ini rasa suka? Entahlah... hanya saja sepertinya aku pernah mengenalnya sebelum ini.

Mata itu terus menatapku, membuatku tertunduk membuang tatapanku ke buku paket yang ada dihadapan ku. Aku tau ini karena kejadian tadi pagi, sampai dia menatapku seperti ini. Tapi apa ini? Apa maksud dari perasaan ini?

Because a something, cowok ini harus duduk didepanku karena memang hanya bangku itu yang kosong. Dua minggu lalu bangku itu masih terisi oleh Arga, temanku yang sekarang pindah sekolah ke luar kota karena pekerjaan orang tuanya. And bla bla bla......

Teeeeeeeeeeeeeeetttttttttttttttttt..............................!!!

Bel istirahat yang ku tunggu-tunggu akhirnya berbunyi. Aku yang sedari tadi memang kelaparan karena tidak sarapan, segera ingin menuju ke kantin sekolah.

Tapi...

Mata itu menoleh ke arahku membuatku sejenak terduduk di bangku ini. Tak menghiraukan perutku yang keroncongan, tak juga menghiraukan kata-kata Rere yang terus mengajakku ke kantin.

***

Di kantin...

“Laper neng?” Ledekku pada Rere sahabatku yang sedari tadi gelisah tak menentu.

“Iya Neezz.. gue kesiangan.” Jawabnya dengan muka menyesal dan mengharap-harap cemas menunggu pesanannya.

Tidak bisa ku tahan aku meringis melihat ekspresi Rere yang memelas. Entah itu fakta atau ekspresi yang di buat-buat, yang pasti ini adalah ekspresi paling lucu yang pernah gue lihat semenjak gue mengenal Rere 2 tahun lalu.

“Ngetawain gue lo?”

Masih cekikikan sendiri aku perhatikan Rere yang sepertinya mulai kesal, tapi bukan Neza namanya kalau gak suka bikin kesel. “Iya sorry tapi sumpah itu ekspresi paling mupeng. Asli gue serius cocok banget.”

“Cocok sama muka gue?”

Makin meringis, “Oops bukan gue loh yang bilang..”

“Lucu?” Matanya mulai menatap sinis ke arahku.

Aku yang mulai di bom bardir oleh Rere pun mulai gerah, rasanya ingin mengacak-acak rambut Rere. Tapi... “Wee.. gak kena.”

“Ah curang lo ngindar mulu, ekting lo tu gak bagus Re.”

Teh Tati penjaga stand di kantin sekolah ku pun datang ke arah kami. Oops ternyata pesanan kami sudah jadi. Rere yang memang menunggu makanan favoritnya itu, langsung melahapnya dengan kilat. Tentu perutku yang sudah keroncongan ini juga ikut melahapnya.

Mataku yang kecil makin mengecil. Dahiku mengernyit menatap Rere, “Rere...”

Rere yang sedang makan dengan lahap mengerti maksudku, namun hanya tersenyum dan kembali melahapnya lagi. Aku hanya tersenyum didalam hati memperhatikan tingkah sahabatku yang satu ini. Aku dan Rere memang sangat menyukai makanan yang di produksi Ibu Tati. Bakso... ya ini adalah makanan favorit kami. Rere bahkan bisa melahapnya 2 atau 3 porsi. Kelebihan seorang Rere adalah selain dia pintar, cantik, tubuhnya juga akan tetap langsing meskipun dia makan seperti orang yang kelebihan berat badan.

Menu favorit kami ini juga terkadang menjadikan kebiasaan kami untuk balapan makan. Siapa yang habis duluan adalah pemenangnya, dan yang kalah harus mentraktir pemenang. Dan...

Mataku menatap ke segala arah penjuru area kantin. Ada yang kurang dari kebiasaan kami di kantin. Tio? Dimana dia? Gak biasanya dia gak bersama kami.

“Re, dimana Tio?” tanyaku pada Rere yang disambut oleh suara yang tidak asing di telingaku, “Disini neng. Wah... enak nih!!! Suara itu merayap menghampiriku dari belakang menyerbu makanan yang ada dihadapanku. Menggeser tempat dudukku yang tadinya berhadapan dengan Rere. Ya Tio sahabatku datang bersama teman baru.

REZA..!!!

Kembali kami saling menatap. Namun tidak lama kami pun membuang tatapan kami ke arah Rere dan Tio.

“Sini Za duduk, noh kenalan sama cewek-cewek ganjen.”

“Lo yang ganjen?” sergah Rere pada Tio. “Za hati-hati aja sama Tio, dia itu lekong. Hiiiiiii.....” katanya melanjutkan.

“Ih biarin ya cin, yang penting pasaran eike laku. Daripada situ gak laku-laku cin, cewe bukan, cowok bukan, lesbong iya. Hahaha...” balasnya dengan logat bencongnya.

“Heloooo... elo gak punya mata. Lihat dong dari ujung rambut sampai ujung kaki, lagunya Ahmad Dhani banget tau ga. Mahluk Tuhan Paling Seksi. You know?”

“Idih pede, heh yang ada tuh Mahluk Tuhan Paling NGERI. Wkwkwkwkkk...”

Reza hanya tersenyum seraya mengambil posisi duduk diantara Rere dan Tio. Tepatnya di hadapanku. Meja dengan bentuk persegi yang di beri satu tempat duduk untuk setiap sisi membuatku semakin canggung. Hufft... perasaan apa ini? Seharusnya aku kesal karena kejadian tadi pagi, apalagi dia hanya diam dan tidak meminta maaf. Kenapa malah seperti ini?

Aku yang sedari tadi cuma diam memperhatikan Reza, Rere dan Tio baru sadar, ”Heh makanan gue dihabisin... Tioooooooo,” bibirku maju 5 cm karena Tio yang menghabiskan makananku.

“Noh pesen lagi sana!”

“Siapa yang bayar?”

“Ya elo lah.” Jawabnya membuat bibirku makin maju.

“Huuuu... dasar  Tio.”

“Iya tuh si Tio cari gara-gara mulu. Huuuuu.....” tambah Rere yang kali ini sepihak denganku.

“Kalo udah gini sih biasanya, kabuuuuuurrrr.......”

Aku dan Rere yang sudah ambil posisi serentak mengacak-acak rambut  Tio yang rapi sebelum dia menyempatkan diri untuk kabur. Kali ini dia tidak bisa menghindar.

Melihat keadaan Tio yang amburadul membuat kami berhenti sejenak menatap Tio. “Hahahaha.....................” serentak kami berdua tertawa bersamaan membuat seisi kantin tertuju memandang kami .

Oops. ..

Reza yang hanya bisa tersenyum melihat kelakuan kami bertiga, membuat Rere angkat bicara. Sepertinya Rere menyadari kekakuan yang masih dirasakan antara kita berempat, “Sorry kita emang kayak gini kalau udah ngumpul. Oh iya kenalin nama gue Rere.”

Ularan tangan Rere disambut oleh tangan dan senyumnya, “Reza.”

Bergiliran, aku pun menyalami dia, “Neza.”

“Reza.”

KAKU, CANGGUNG. Kenapa aku merasakan ini saat di dekatnya. Kenapa ini seperti tidak asing bagiku, namun kenapa juga aku bersikap seperti ini?

***

“Nez, tunggu...” seperti suara Reza. Aku pun menoleh dan ternyata dugaanku benar. Reza yang berjalan agak cepat datang menghampiriku saat aku keluar dari gerbang sekolah.

“Kenapa Za?” Aku bertanya heran saat Reza sudah dihadapanku.

Dia hanya tersenyum.

“Ko senyum?” Aneh, pikirku.

“Pulang bareng yu? Kamu ke arah situ kan?” Masih merasa heran, aku menganggukan kepala. Kenapa dia tau arah rumahku??

Setelah beberapa saat kita hanya diam, Reza pun memulai pembicaraan, “Soal tadi pagi... sorry ya.”

Aku tersenyum dan menoleh ke arahnya. “It’s ok, ini salah gue juga ko...”

Reza ikut tersenyum, “Engga ko.”

Aku merasa malu karena sudah membentaknya tadi pagi. Ternyata cowok dengan tinggi 170 cm ini tidak seperti yang aku pikirkan. “Maafin gue juga ya, udah marah-marah sama lo.”

Dia hanya tersenyum dan menganggukan kepalanya.

“Ngomong-ngomong rumah lo dimana?” Masih merasa heran aku bertanya.

“Gue?”

“Iya...”

“Searah ko sama rumah lo...” lagi-lagi ini membuatku semakin heran. Membuatku berfikir kalau dia mungkin pernah membututi aku. Tapi kita kan baru bertemu hari ini.

“Ko lo tau arah rumah gue?” Tanyaku semakin mengintrogasi.

Dia menoleh ke arah ku, “Tau dari Tio.” Jawabnya singkat, membuyarkan keherananku dan pikiran konyol yang sempat terlintas.

“Oh...”

Diam........................

.........................

..........................................

Aku mulai kebingungan mencari-cari apa yang harus ku katakan, baru kali ini aku kesulitan untuk memulai pembicaraan.

........................................


Sisa perjalanan pun kita lewati dengan diam. Setelah melewati rumah Kiki yang bersebelahan dengan rumahku, tidak terasa gerbang rumahku sudah ada dihadapanku.

“Mau mampir dulu?” Basa basi aku bertanya pada Reza.

“Lain kali deh. Gue ada perlu.”

“Oh.”

“Gue pulang ya...”

“Ok, hati-hati.”

Setelah tersenyum, dia pun pergi meninggalkan aku didepan pintu gerbang.

Terimakasih Tuhan telah mengabulkan do’a hamba, batinku. Setelah sepanjang jalan bersamanya, aku gak mau harus merasakan canggung lagi dan mencari-cari topik apa yang harus dibicarakan. Untung saja pertanyaan basa-basiku tidak dijawab iya...

***

Dikamarku yang selalu membuatku merasa nyaman, kembali aku berfikir soal Reza. Aku masih merasa heran tentang perasaan yang aku rasakan saat ini. Entah perasaan apa... aku sama sekali tidak mengerti kenapa aku merasa seperti ini. Yang jelas ada sesuatu yang mengganjal di hatiku ini.

Apakah ini rasa suka? Kalau ini rasa suka, ini tidak seharusnya aku rasakan pada seseorang yang baru aku kenal. Apalagi pada seseorang seperti dia. Seseorang yang pasti banyak disukai oleh para gadis di sekolah ku. Hufft...

Kedekatanku dengannya hari ini mungkin akan menguntungkan jika aku bersaing dengan gadis di sekolah ku. Tapi apa dia akan menyukai aku? Meskipun tadi kita pulang bersama. Aku tau itu karena kejadian tadi pagi. Itu karena dia ingin meminta maaf soal kejadian itu. Haduh berpikir apa sih aku ini.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Non Tiwi Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review